Press release DPRD Kudus
Soal Isu Fatwa Haram Rokok
Kudus, 20 Januari 2009– Majelis Ulama Indonesia (MUI) diminta tidak mengeluarkan fatwa haram rokok. Permintaan itu disampaikan Ketua DPRD Kabupaten Kudus Drs. H Asyrofi saat audiensi dengan pengurus MUI di Jakarta kemarin (20/01/09). Dalam pertemuan itu, Asyrofi didampingi ketua MUI Cabang Kudus, pengurus Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), pengurus Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), Ketua SPSI Kudus, Asisten II Bupati Kudus, dan ISES Indonesia.
Sebagaimana diketahui, MUI pada 24-25 Januari 2009 berencana mengadakan ijtimaul ‘ulama (kesepatakan ulama) tentang rokok di Padang Panjang. Selain rokok, perkawinan dini juga akan dibahas di pertemuan itu.
Menurut Asyrofi, pembahasan agenda rokok MUI perlu disikapi secara kritis. Putusan haram rokok, katanya, dapat memicu regulasi ikutan, baik oleh departemen di pemerintahan maupun oleh pemerintah daerah. Jika ini terjadi, kata Asyrofi, fatwa haram rokok merupakan lonceng kematian bagi industri rokok.
Sebagai daerah berbasis industri rokok, masyarakat Kudus amat menggantungkan perekonomiannya dari bisnis rokok. Berdasarkan data Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK), saat ini tercatat ada 95 ribu karyawan dari 15 pabrik yang tergabung dalam PPRK. Jika ditambah dengan 115 pabrik yang tergabung dalam Forum Perusahaan Rokok Kudus (FPRK), serta puluhan pabrik lain yang tak berasosiasi, total jumlah karyawan rokok mencapai 120-an ribu.
Dalam jangka panjang, sambung Asyrofi, fatwa haram rokok berpotensi mengurangi konsumsi rokok. Pengurangan konsumsi akan mengakibatkan lesunya produksi rokok. Sebagai perusahaan padat karya, khususnya untuk jenis sigaret kretek tangan (SKT), pabrikan rokok pun tidak bisa mengelak dari keputusan mem-PHK karyawan.
Direktur Eksekutif Institute for Social and Economic Studies (ISES) Indonesia Hasan Aoni Aziz US mengatakan, MUI sejauh ini terkesan memihak kelompok anti-tembakau. Pendapat-pendapat MUI mengesankan seolah-olah fatwa haram telah diputuskan. Dalam memandang dampak sosial rokok, Hasan mengatakan, buruh rokok harus ditempatkan dalam perspektif korban. “Buruh adalah kelompok yang sangat rawan terhadap kebijakan pembatasan rokok,” tuturnya. Karena itu, selain memerhatikan kepentingan anak dan ibu hamil, nasib buruh juga perlu diperhatikan.
Peta Jalan
Dalam rancangan peta jalan (road map) industri rokok, orientasi industri rokok dirancang dalam tiga konsentrasi. Untuk periode 2007-2010 terkonsentrasi untuk kepentingan pendapatan (pro income), 2010-2015 untuk tenaga kerja (pro job), dan 2015-2020 untuk kepentingan kesehatan (pro health).
Dalam implementasi pro income, Kudus berdasarkan data PPRK sejak 2005-2008 telah menyumbang cukai rokok rata-rata 26,12% dari total pendapatan cukai rokok nasional. Pada 2008, setoran cukai Kudus mencapai Rp. 11 triliun atau 20 persen lebih dari penerimaan negara atas rokok yang mencapai Rp. 50 trilyun. Pendapatan cukai nasional itu setara 5 persen dari APBN 2008 yang mencapai Rp. 1000 triliun. Dari setoran sebesar itu, sebagian dikembalikan kepada daerah penghasil cukai rokok dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH). DBH tersebut digunakan untuk berbagai kegiatan, salah satunya mempersiapkan industri rokok dan masyarakat menghadapi deindustrialisasi rokok. Jika fatwa haram jadi diputuskan, maka MUI telah melakukan percepatan melampaui peta jalan industri rokok yang dirancang pemerintah.
Mudharat
Fatwa haram rokok dalam implementasinya juga bisa menimbulkan hukum ikutan. Yaitu memandang bahwa segala yang berkaitan dengan proses produksi dan penjualan rokok menjadi haram. Ketentuan ini bisa mendorong kelompok organisasi keagamaan tertentu untuk melakukan razia terhadap rokok. Sebagaimana tindakan razia kelompok ini terhadap minuman keras, hal sama dapat mereka lakukan terhadap rokok, karena merasa mendapat legitimasi hukum agama.
Dengan berbagai alasan tersebut, DPRD Kudus telah menjaring pandangan dari berbagai elemen masyarakat di Kudus. Hasil pandangan itu dituangkan dalam “Pokok-pokok Pikiran soal Fatwa Haram Rokok” yang diserahkan kepada MUI. Dalam pmandangan itu, Asyrofi meminta agar MUI menurunkan proposal pembahasan fatwa haram rokok dari agenda bahasan. “Sebaiknya MUI mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah agar mengeluarkan regulasi pembatasan merokok melengkapi aturan yang sudah ada. Pengaturan rokok cukup melalui hukum positif saja,” kata Asyrofi.
Sementara Ketua MUI Cabang Kudus KH Syafiq Nashan, mengatakan, dia akan menggalang kesatuan dengan MUI dari daerah basis industri rokok untuk mendorong MUI pusat agar tidak mengeluarkan fatwa haram. “Hukum makruh (perbuatan yang tercela) sudah cukup menghukumi perbuatan merokok,” tuturnya.
Kudus, 20 Januari 2009 (HA)
Senin, 26 Januari 2009
MUI Diminta Tidak Keluarkan Fatwa Haram Rokok
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar