by: Rudolfus Antonius
Rohaniawan sekarang tinggal di Jogya untuk menuntut Ilmu
Hati nurani siapakah yang tidak terusik dengan serbuan militer Israel ke Jalur Gaza? Serangan yang dimulai di penghujung tahun baru dan terus berlanjut sampai saat ini bukan hanya telah memporakporandakan Gaza, tetapi juga menelan ratusan korban jiwa dan mencederai ribuan orang. Delapan ratus lebih orang Palestina tewas, ribuan lainnya cedera. Mereka bukan hanya dari kalangan Hamas, faksi yang berkuasa di Gaza, tapi juga penduduk biasa. Bahkan, jumlah penduduk biasa yang jadi korban lebih banyak daripada mereka yang sudah terbiasa menyandang senjata. Sangat miris. Selama setengah tahun mereka sangat menderita karena blokade Israel pasca-perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas, sekarang mereka benar-benar berjalan di lembah bayang-bayang maut di tanah tumpah darah mereka sendiri.
Komunitas internasional bereaksi. Protes, kecaman, dan kutukan terhadap Israel membahana; baik dari berbagai Negara, maupun kelompok-kelompok masyarakat. Tak terkecuali, Indonesia. Bahkan beberapa kelompok fundamentalis Islam di negeri menyerukan jihad dan siap mengirimkan jihadis ke Jalur Gaza untuk membela kehormatan Islam, membela umat Islam (karena berlogika Palestina = Arab = Islam), dan membinasakan orang Yahudi. Dewan Keamanan PBB, minus AS yang nota bene merupakan sekutu terdekat Israel, sudah mengeluarkan resolusi: Israel harus menghentikan agresinya. Tapi Israel masih terus melanjutkan serangannya, baik dari udara, laut, maupun darat.
Pihak Israel membenarkan serangan mereka terhadap Gaza dengan mengemukakan pelanggaran gencatan senjata yang dilakukan Hamas. Dari Gaza Hamas telah meluncurkan roket-roket ke wilayah Israel. Dua warga Israel tewas. Dengan dalih melindungi negeri dan warganya, Israel membalas – dengan serangan yang jauh lebih dahsyat dan jumlah korban yang jauh lebih besar. Israel pun menuntut Hamas untuk tidak meluncurkan roket-roket lagi ke wilayahnya. Jika tidak, serangan Israel akan terus berlanjut. Dalam pada itu, Israel juga menuduh Hamas berlindung di balik penduduk biasa Gaza dan dengan demikian bertanggungjawab atas korban sipil yang sedemikian banyak.
Sebaliknya, pihak Hamas justru menyatakan bahwa Israel-lah yang sebenarnya telah melanggar gencatan senjata. Sebagaimana dikatakan Khalid Mish'al, seorang ketua Biro Politik Hamas,
“Selama enam bulan, kami Hamas menaati gencatan senjata. Israel melanggarnya berulang kali sejak dari awal. Israel diharuskan membuka perlintasan ke Gaza dan memperluas gencatan senjata ke Tepi Barat. Ia berlanjut dengan mengencangkan pengepungan mematikannya di Gaza, berulang kali memutus aliran listrik dan persediaan air. Hukuman kolektif ini tidak berhenti, melainkan semakin meningkat lajunya – begitu pun dengan pembunuhan dan pembantaian. Tiga puluh warga Gaza dibunuh oleh tembakan Israel dan ratusan pasien meninggal karena dampak langsung pengepungan selama apa yang disebut dengan gencatan senjata itu. Israel menikmati periode tenang. Rakyat saya tidak.”klik di sini
Bagaimana kita harus menilai dan menyikapinya?
Pertama perlu dikemukakan bahwa serangan Israel ke Gaza tidak dapat dipahami dan disikapi lepas dari konteks sosio-historis dan geopolitik yang lebih luas, baik secara diakronik maupun sinkronik. Tentu saja akan terlalu panjang untuk menjabarkan hal ini, bahkan sekadar memperbincangkan Deklarasi Balfour dan berdirinya Negara Israel sekalipun. Untuk saat ini cukuplah kiranya bila kita mengatakan bahwa dalam analisis terakhir konflik Israel-Palestina berlangsung dalam bingkai imperialisme Barat di Timur Tengah di satu sisi, dan kegagalan nasionalisme Arab yang dikomandani klas burjuisnya serta kebangkrutan fundamentalisme Islam di pihak lain.
Kaum imperialis Barat (Amerika Serikat dan Uni Eropa) terus berusaha memperkuat pengaruhnya di antara Negara-negara Arab guna kepentingan ekonomi dan politik mereka. Kaum imperialis berhasil menjinakkan klas burjuis nasional yang semula mengibarkan bendera nasionalisme serta memanfaatkan mereka untuk menegakkan pemerintahan yang “demokratis” dan untuk menghadapi elemen-elemen radikal yang membahayakan kepentingan kaum imperialis. Dalam kasus Palestina, tentulah faksi Fatah, dengan Mahmoud Abbas sebagai presiden Palestina. Dalam kasus lain, misalnya Mesir.
Bagaimana kaum imperialis dapat mengkooptasi kaum burjuis nasional? Dalam perjuangan merebut kemerdekaan nasional, kaum burjuis nasional sepertinya memainkan peran progresif. Lazimnya mereka tampil di depan guna memimpin pembebasan nasional. Dalam hal ini mereka memang berhadap-hadapan dengan kaum imperialis. Tapi pada satu titik mereka harus mempertimbangkan dua pihak, yang satu kaum imperialis (yang ingin terus menguasai negeri mereka), yang lain klas pekerja (yang menuntut pembebasan dan menginginkan Negara sosio-demokratik).
Di sinilah watak kelas akan sangat menentukan. Baik kaum burjuis nasional maupun kaum imperialis sama-sama terhisab ke dalam klas burjuis. Sama-sama menghendaki kepemilikan, kontrol, dan akses terhadap alat-alat produksi massal, mereka sama-sama memiliki musuh bersama. Musuh mereka adalah klas pekerja, yang menghendaki agar alat-alat produksi massal tersebut dimiliki, dikontrol, dan diakses secara demokratis. Alih-alih “memaksakan” kemerdekaan nasional tapi harus menyerahkan kepemilikan, kontrol, dan akses itu kepada klas pekerja, kaum burjuis nasional memilih “berdamai” dengan kaum imperialis. Demikian juga sebaliknya. Kaum imperialis tidak rela bila negeri yang biasa atau bisa dieksploitasinya jatuh ke tangan klas pekerja. Karena itu mereka pun memilih “berdamai” dengan kaum burjuis nasional.
Tentu “perdamaian” ini ada harganya: di satu pihak kaum imperialis memberikan “kemerdekaan” dan mendukung kekuasaan kaum burjuis nasional; dan di pihak lain kaum burjuis nasional membuka negerinya bagi modal kaum imperialis, menjalankan kekuasaan menurut tatanan yang ditetapkan kaum imperialis, serta merepresi elemen-elemen radikal yang bisa membahayakan kepentingan kaum imperialis.
Selain hubungan antara kaum imperialis dengan kaum burjuis nasional, perlu juga diperhatikan kaum fundamentalis Islam. Para pemimpin fundamentalis Islam berasal dari klas feudal dan klas burjuis. Tentu mereka berbeda dengan kaum burjuis nasional. Sementara kaum burjuis nasional cenderung sekuler dan bersikap akomodatif terhadap kaum imperialis, para pemimpin fundamentalis adalah sebaliknya. Tapi seperti halnya kaum burjuis nasional, mereka juga ingin berkuasa. Kekuasaan mereka adalah kekuasaan yang berdasarkan agama. Karena itu Negara yang diidam-idamkan adalah Negara totaliter berbasiskan agama. Dalam Negara totaliter itu, klas feudal dan klas burjuis sama-sama mendapatkan pembenaran agama atas kekuasaan mereka. Dalam pada itu patut pula dikaji: bila kedua klas itu sama-sama berbagi kekuasaan di dalam sebuah Negara totaliter, apakah mereka bisa menjalani hidup bersama secara damai (peaceful coexistence)? Rasanya tidak, sebagai menurut watak kelasnya, kedua klas itu sebenarnya sangat bertentangan.
Apa hubungan kaum fundamentalis Islam dengan kaum burjuis nasional dan kaum imperialis? Karena kaum imperialis dan kaum burjuis nasional mengetahui bahwa kaum fundamentalis Islam menghasrati kekuasaan, maka kedua belah pihak itu ingin melumpuhkan mereka. Dalam hal ini kaum imperialis dan kaum burjuis nasional beroleh pembenaran dalam aksi-aksi terorisme individual yang dilakukan oleh orang-orang dari kalangan fundamentalis Islam. Tentu saja kaum fundamentalis Islam tidak tinggal diam menghadapi upaya kaum imperialis dan kaum burjuis nasional. Mereka mengadakan perlawanan. Mereka terus melancarkan gerakan untuk menyebarkan idea-idea tentang khilafah. Mereka juga “menunjukkan gigi” dengan melakukan aksi-aksi terror individual. Di Palestina, Hamas nampaknya menjadi sebuah kendaraan bagi kaum fundamentalis (meski kita tidak dapat mengatakan bahwa semua personil Hamas adalah muslim apalagi fundamentalis).
Kedua, melalui analisis klas terhadap konteks sosio-historis dan geopolitik konflik Israel-Palestina, agaknya kita dapat memahami mengapa konflik itu terus berlangsung dan mengapa perlawanan Palestina sekian lama tidak juga mendatangkan kemaslahatan bagi rakyatnya.
Aksi-aksi teror individual, yang pernah dilakukan puluhan tahun oleh PLO-nya Yasser Arafat, terbukti gagal mengalahkan Israel dan memerdekakan rakyat Palestina. Kenyataannya, teror-teror individual di satu sisi malah membuat solid klas penguasa Israel. Pasalnya, menjadi sasaran teror-teror itu, rakyat Israel semakin mendukung pemerintahnya. Demikian juga klas pekerja di sana. Di sisi lain, teror-teror individual justru memperparah penderitaan rakyat Palestina. Pasalnya, karena teror-teror itu Israel merasa beroleh pembenaran untuk mengadakan pembalasan, “menghukum” rakyat Palestina. Bisa jadi Hamas lupa atau malah mengabaikan pelajaran-pelajaran pahit ini. Dengan teror-teror individual yang dilakukannya, termasuk meluncurkan roket-roket yang toh tidak melumpuhkan instalasi militer Israel tapi justru menambah sengsara kehidupan rakyat pekerja di sana, Hamas memperkuat posisi klas penguasa Israel dan memperparah kesengsaraan rakyat Palestina.
Di lain pihak, perjuangan kaum burjuis nasional yang sudah sama sekali kehilangan élan progresifnya juga tidak lebih baik. Meja-meja perundingan kaum burjuis nasional dengan Israel dan kaum imperialis (yang berpretensi memperlihatkan jasa baik demi hak asasi, demokrasi, kapitalisme, dan perdamaian dunia), sesungguhnya merupakan kapitulasi. Kapitulasi itu secara hakiki (i) tidak memerdekakan rakyat Palestina; (ii) memberikan peluang seluas-luasnya kepada Israel untuk memanipulir perjanjian-perjanjian damai demi kepentingannya sendiri; (iii) menguntungkan kaum imperialis (karena memantapkan pengaruhnya atas pemerintahan boneka burjuis nasional); dan (iv) memberikan sepotong kekuasaan kepada birokrasi burjuis nasional atas negeri dan rakyat Palestina.
Sikap bangsa-bangsa yang tergabung dalam Liga Arab dan Organisasi Negara-negara Islam Dunia pun tidak dapat diharapkan. Solidaritas mereka baru sampai pada tahap memprotes, mengecam, atau mengutuk Israel. Kata seorang analis, ngomong doang. Contoh yang paling mencolok adalah Mesir. Ketika pasukan Israel mengebom Gaza, Pemerintah Mesir malah menutup perbatasannya untuk mencegah eksodus rakyat Gaza yang ingin menyelamatkan dirinya dari serangan misil Israel. Menurut laporan BBC London,
“ketika pesawat-pesawat jet yang membombardir Gaza Selatan, ratusan rakyat Gaza berlari menuju pagar perbatasan Gaza-Mesir, tetapi pasukan keamanan Mesir menembaki mereka untuk mencegah mereka masuk ke Mesir.” klik di sini
Hal-ihwalnya tak sukar diraba, rezim burjuis nasional atau penguasa feudal mereka sama-sama memiliki kepentingan-kepentingan ekonomiko-politik yang tak terpisahkan dari hegemoni kaum imperialis – baik Amerika Serikat maupun Uni Eropa.
Lalu bagaimana?
Seorang rekan pernah mengatakan bahwa dalam situasi seperti ini, Hamas mempunyai empat kemungkinan bertindak. Pertama, meneruskan cara berperang seperti sekarang, yakni terus-menerus melancarkan balasan dengan meluncurkan roket ke wilayah Israel dan melakukan perang kota dengan menjadikan warga sipil sebagai perisai. Dalam skenario ini, perang akan berlangsung lama – dan korban pun kian banyak. Kedua, menghadapi Israel secara terbuka tanpa melibatkan rakyat Gaza. Dalam skenario ini, kata teman saya, Hamas bersikap ksatria. Perang pun akan berakhir dalam waktu singkat, dengan kekalahan total hampir pasti di pihak Hamas. Ketiga, Hamas menyerah. Tentu saja ini mencegah jatuhnya korban lebih banyak lagi, baik dari kalangan penduduk biasa maupun Hamas sendiri. Tapi ini menyangkut harga diri para pejuang militan itu. Keempat, Hamas (dengan bantuan Iran dan Syria) mempersenjatai segenap penduduk sipil untuk mengadakan “perang rakyat” melawan Israel. Skenario ini akan memperpanjang perang. Mungkin Israel akan gagal menaklukkan Hamas dan Gaza. Tapi ini akan menelan korban sangat besar, baik di pihak Gaza, juga Israel. Lagipula patut diragukan apakah rakyat sipil Gaza siap memanggul senjata.
Tanpa bermaksud menjadikan tragika rakyat Gaza obyek analisis semata, saya cenderung pada perlawanan klas pekerja. Perlawanan ini sama sekali bukan terorisme individual, tetapi aksi-massa revolusioner yang terorganisir di bawah kepemimpinan suatu vanguard party yang benar-benar berwatak klas pekerja. Aksi-massa ini bukan hanya melibatkan klas pekerja Palestina, tetapi juga klas pekerja Israel, Mesir, Libanon, Syria, dan Yordania (yang sama-sama sangat menderita karena krisis keuangan Amerika Serikat yang telah bermetamorfosis menjadi krisis ekonomi global). Dalam solidaritas internasionalisme yang bercorak sosio-demokratik (bukan sosdem!), klas pekerja di Negara-negara ini dapat mengadakan pemogokan yang akan melumpuhkan rezim-rezim reaksioner, mendirikan pemerintahan-pemerintahan sosio-demokratik, mengakhiri penjajahan Israel, dan membangun federasi sosio-demokratik di kawasan tersebut.
Situasi di Timur-Tengah akan menjadi semakin revolusioner seiring dengan kebankrutan klas burjuis nasional dan fundamentalisme Islam, kian merajalelanya kaum imperialis, dan semakin parahnya penderitaan rakyat pekerja. Yang diperlukan adalah peran kepeloporan kaum sosio-demokratik untuk membangkitkan kesadaran pada rakyat pekerja, peasant (buruh tani dan tani gurem), dan kaum miskin kota sebagai subyek sejarah, serta mengorganisir dan memobilisir mereka.
Sebagai seorang Kristen Indonesia yang berhaluan sosio-demokratik, saya menyerukan agar serikat-serikat buruh (yang sejati, bukan yang kuning) mengorganisir massa pekerja untuk mendukung perjuangan rakyat Palestina. Saya menyerukan kepada kaum sosio-demokratik internasional, juga partai-partai sosio-demokratik yang benar-benar ber-garis massa di Palestina, Israel, Syria, Yordania, Lebanon, Mesir, bahkan Iran, untuk bergerak. Saya juga menyerukan agar gereja-gereja di Indonesia untuk menyatakan solidaritas kepada rakyat Palestina. Tentu, kita tidak mendukung kaum burjuis nasional dan/atau kaum fundamentalis yang nota bene telah menjerumuskan rakyat Palestina ke dalam penderitaan yang semakin parah – tapi rakyat Palestina, yang membutuhkan kepeloporan partai-partai yang konsekuen dengan komitmen pemerdekaan yang sejati demi tatanan sosio-demokratis sedunia!
Long live the Palestinians!
Senin, 12 Januari 2009
HARAPAN BAGI GAZA
Label:
Opini Publik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar