Oleh Hasan Aoni Aziz US
Pemerhati sosial dan energi, tinggal di Kudus
Di London, pada sebuah perjamuan diplomatik lebih dari 50 tahun lalu, seorang lelaki bertubuh pendek dan kurus untuk ukuran orang Eropa, memantik rokok, dan mengepulkan asap dari mulutnya. Ia mengenakan vest hitam, juga songkok di atas rambut putihnya. Aroma asap kretek menyaput seisi ruangan itu. “Apakah gerangan yang sedang Tuan isap itu?” tanya seorang diplomat bule. “Inilah yang mulia,” lelaki itu menjawab, “yang menjadi alasan mengapa Barat menjajah dunia!”
Peristiwa itu diceritakan oleh sastrawan Pramudya Ananta Toer dalam buku Mark Hanusz: Kretek, The Culture and Heritage of Indonesia’s Clove Cigarette.
Agus Salim, “sesepuh” yang diceritakan itu, adalah duta besar pertama RI untuk Inggris Raya. Cerita itu sendiri pernah ditulis untuk pertama kali dalam buku peringatan 100 Tahun Agus Salim, tahun 1984.
Sejarah rokok di Indonesia adalah sejarah Kudus. Dalam catatan Raffles dan Condolle disebutkan bahwa kebiasan merokok di Jawa sudah ada sejak abad 17. Bahkan Raja Mataram Sultan Agung yang memerintah tahun 1613-1645 dicatat Onghokham dan Amen Budiman sebagai chain smoker (perokok berat). Tapi, tak satupun dari catatan sejarah itu yang memperkenalkan rokok secara komersial kecuali seorang haji asal Kudus bernama Djamari pada akhir abad 19.
Kediri maupun Malang, dua dari tiga kota industri rokok di Indonesia – termasuk Kudus, selalu berebut menyebut dirinya, “Kami lah kota kretek Indonesia!”. Tapi Kediri maupun Malang tak memiliki Haji Djamari yang telah menjadi ikon rokok, dan menjadi buah bibir masyarakat karena telah menyembuhkan sendiri penyakitnya sesudah mengisap rokok bercengkeh ini.
Mereka pun tak memiliki Haji Ilyas dan Haji Abdul Rasul yang memproduksi rokok secara massal, sebagai pendahulu-pendahulu sejarah kesaudagaran rokok di Kudus. Suatu sejarah panjang rokok kretek sampai juragan rokok Bal Tiga Nitisemito yang tersohor itu.
Kini, rokok telah tumbuh menjadi industrial idol negara. Pemasukan negara atas industri ini tahun 2003 mencapai 27 trilyun rupiah. Dari industri ini, Kudus menyumbang hampir 6 trilyun rupiah per tahun. Tapi, Kudus tetap meradang karena pemasukan besar itu tetap jadi penerimaan kecil baginya.
Ibarat gula, industri ini telah menjadi tempat kerubutan ratusan ribu tenaga kerja yang mengisap manis dari pahitnya tembakau. Jika dahulu Barat, seperti disebut the old man Agus Salim, menjajah dunia karena cengkeh, maka industri rokok kini menjadi tempat peziarahan panjang angkatan kerja yang menanti kesempatan melinting tembakau dan cengkeh. Serta tempat hidup bagi para petani penghasil rempah-rempah itu.
Rokok telah menjadi candu bagi tenaga kerja, petani, saudagar rokok, juga negara. Dan kita (juga saya), seperti kata Fromberg dalam Opium to Java, adalah pengisap candu, sekaligus terisap oleh industri rokok dan negara ini. Itulah kenapa rokok selalu berada dalam ironi: dicaci sekaligus didamba.
Maka, ketika negara secara tegas memberlakukan ketentuan tar dan nikotin, sesungguhnya negara tidak sedang mencaci rokok, karena negara mendambakannya. Negara hanya sedang berkompromi secara malu-malu dengan Barat yang dulu menjajahnya untuk sebuah kepentingan bernama paru-paru manusia.
(Dimuat di Suara Merdeka, 2004)
Rabu, 24 Desember 2008
CANDU VAN KUDUS
Label:
KOLOM HASAN AONI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar