Selamat Datang

dunia lebih kaya, lebih hidup, lebih bersegi banyak dari tampaknya, sebab setiap langkah daripada ilmu pengetahuan tertemukan di dalamnya segi-segi baru...

Sabtu, 27 Desember 2008

Budaya (dilarang) Merokok

Oleh Hasan Aoni Aziz US
Pemerhati sosial dan energi, tinggal di Kudus



Merokok telah menjadi tradisi kebanyakan lelaki. Tetapi rokok apa yang diisap sangat dipengaruhi kebudayaan. Pasar rokok telah mendemonstrasikan dengan menarik kebiasaan merokok ini. Inggris dan Amerika mengenalkan kepada kita rokok putih merk Commodore, Dunhill, 555, Ardath, Marlboro dan Palmall.
Perokok Indonesia sulit menerima rokok putih, karena mereka terbiasa dengan rokok cengkeh atau yang dikenal dengan kretek. Pada generasi pertama tanpa filter pula. Bagi kebanyakan orang Indonesia saat itu, mengisap rokok putih sama seperti makan sayur tanpa garam, hambar tak berasa.
Sebaliknya, orang Eropa dan Amerika tidak saja sulit menikmati rokok kretek, tetapi sekaligus aneh. Mereka mengenal cengkeh sebagai bahan penyedap kuah. Keanehan itu membuat seorang diplomat Inggris Raya di zaman kemerdekaan terheran-heran mencium bau asap yang mengepul di tengah jamuan malam di London lebih dari 50 tahun lalu (Mark Hanuzs, 2005).


Komunikasi Budaya
Bagaimana mengomunikasikan produk pada pasar yang melewati batas etnis-geografis, para pemasar perlu memerhatikan kebudayaan. Marlboro mengomunikasikan dirinya melalui gaya hidup. Orang muda terdorong mengisap rokok putih bisa jadi bukan atas keinginan beralih rasa, tapi ingin mencitrakan diri sebagai jantan dan modern. Dalam banyak hal Barat berhasil mengasosiasikan para penggunanya sebagai modern, seperti berhasil diciptakan Coca Cola atau McD.
Djarum mencoba memasuki pasar tersebut. Rokok merk Premium yang sempat beredar di pasar Indonesia taste-nya mirip-mirip rokok putih. Tetapi di Indonesia Premium belum berhasil meng-associated dirinya menjadi modern. Lalu Premium mengalihkan pasarnya ke Malaysia. Rokok putih lokal yang cukup punya tempat adalah Country, produk Bentoel group.
Pendekatan kebudayaan menjadi konsep pemasaran pabrikan rokok. Mereka ingin menciptakan bahwa merokok merupakan slice of life (irisan hidup). Karena itu, ada rokok rasa strawberi, teh, kopi, dst. RJ Reynold Tobacco, produsen Camel asal Winston-Salem Amerika Serikat, terkenal dengan rokok berbagai aroma dan rasa. Mereka seolah ingin mengatakan bahwa rokok tidak saja diisap, tapi dikunyah kayak permen. Mengingatkan kita pada tradisi ”chewing” di Amerika Latin atau ”nyusur” alias ”nginang” di negeri kita.
Djarum menciptakan produk yang related dengan budaya udud sambil ngopi, atau sambil ”moci” (minum teh) di masyarakat kita. Lihatlah Djarum Black rasa kopi Cappucino. Lalu Black Tea, rokok rasa teh yang diluncurkan pertengahan 2006. Djarum agaknya ingin menyusupkan pesan komunikasi: inilah (me)rokok yang sesungguhnya!
Meskipun penting, kebudayaan, kata pakar marketing Warren J. Keegan (1989), hanyalah satu dari tujuh faktor yang memengaruhi keberhasilan produk di market internasional. Enam faktor penting lain adalah (1) harga, (2) efektifitas iklan, (3) ketersediaan produk dan saluran distribusi, (4) ketersediaan bahan baku, (5) iklim atau suhu, dan (6) tingkat pendapatan.
Mengingat banyaknya faktor itu, penting disadari bahwa kebudayaan, tradisi, adat dan kebiasaan lebih merupakan faktor yang memengaruhi daripada menentukan. Kebudayaan dianggap sebagai kekuatan penghambat daripada pendukung. Tetapi, karena kebudayaan begitu cepat berubah, terdapat banyak kesempatan untuk memercepat perubahan tersebut.
Di pasar rokok putih, melalui berbagai upaya yang dilakukan Philip Morris dan BAT – produsen Marlboro dan Ardath, kini banyak kaum muda menggapit rokok putih di sela jari tangan mereka. Keduanya menduduki posisi pertama dan kedua market share rokok putih di Indonesia (Marketing, Mei 2006?).
Cultural Genocide
Optimisme perubahan diiringi juga kecemasan. Agresifitas regulasi terhadap industri ini, seperti pembatasan kadar tar dan nikotin, pembatasan beriklan, pengenaan cukai yang tinggi, dan rencana pemberlakuan Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau Kerangka Kerja Konvensi Pengendalian Tembakau, bisa melemparkan industri ini pada posisi sulit untuk berkembang. Indonesia selalu disudutkan dunia karena masih enggan meratifikasi FCTC.
Rokok tidak saja dihadang oleh efek kesehatan para pecandunya, tetapi juga oleh gerakan kesehatan lingkungan. Dan rasanya tak ada gerakan kesehatan dan lingkungan yang cukup agresif menolak keberadaan produk kecuali terhadap rokok.
Industri rokok bisa berkata nafas hidup mereka masih panjang. Pembelian 40 persen saham HM Sampoerna oleh Philip Morris tahun 2005 menjadi indikator positif kesempatan tersebut. Tetapi, berbagai pembatasan dan gerakan penentangan secara internasional yang terus menekan bisa menciptakan budaya baru: cultural genocide (pembinasaan budaya).
Kodak adalah contoh relevan. Produsen film untuk foto tersebut pertengahan 2006 mengumumkan penutupan pabriknya karena telah tergerus kebiasaan baru memotret dengan kamera elektronik tanpa film.
Contoh lain adalah kebangkrutan pabrik kloning hewan Genetic Saving & Clone di San Francisco, Amerika Serikat, 12 Oktober 2006. Kloning telah ditentang kaum agamawan sejak masih gagasan.
Perubahan-perubahan pemikiran kebudayaan dan agama memang bisa memberikan harapan hidup suatu produk. Kondom contohnya. Semua alat dan tindakan kontrasepsi untuk program Keluarga Berencana (KB) dahulu diharamkan ulama karena berarti menolak takdir Tuhan memiliki banyak anak. Juga berarti menentang keyakinan Jawa lama bahwa ”banyak anak, banyak rejeki”. Kini kondom bukan saja dianjurkan demi mencegah penularan penyakit kelamin, melainkan untuk pembatasan demi kualitas pendidikan anak. Budaya melarang telah berubah menjadi anjuran.
Yang amat mirip rokok adalah bir. Bir dan anggur beralkohol dibatasi hanya untuk orang dewasa, juga padanya dikenakan cukai tinggi. Bir tetap berkembang, karena minum bir bagi orang Barat dibutuhkan untuk menghangatkan badan. Bir menjadi irisan hidup yang sesungguhnya di negeri yang mengenal iklim dingin.
Di negeri Timur bir dikonsumsi kalangan terbatas untuk gaya hidup dan perilaku. Meskipun terdapat iklim dingin di beberapa negara di Timur, pasar bir tetap terbatas karena keyakinan Timur (Islam) menganggap bir adalah khomr, minuman memabukkan yang dilarang agama. Sampai pada kandungan alkohol nol persen pun, kebudayaan dan hukum agama di Timur terlanjur menstigma haram minuman ini. Menjadi menarik ketika bir cap Bintang beralkohol 0% diiklankan di tivi-tivi. Mungkin bermaksud mengedukasi pasar muslim untuk merubah stigma negatif minuman ini.
Tapi, gerakan anti-bir tak seagresif gerakan antirokok, karena efek bir dinilai hanya mengena kesehatan fisik pemakainya, sementara rokok tidak. Nampak di sini visi gerakan kritis suatu produk lebih berpihak pada kesehatan fisik daripada mental.
Memang sepanjang rokok masih mengandung candu, budaya merokok mungkin tetap hidup. Sebab candu adalah nadi dari budaya. Tapi, dengan ketatnya regulasi, di mana iklan rokok di masa yang akan datang tidak boleh dipromosikan di ruang publik: pamflet, koran, radio, televisi, film dst, hal ini sangat berpotensi menggerus industri rokok.
Industri rokok menangkap gejala ini dengan menggeber orientasi kegiatan yang bertumpu pada public relations (PR) dan Corporate Social Responsibility (CSR), seperti kegiatan bea siswa pendidikan, olah raga, musik, bahkan lingkungan. Mereka ingin menancapkan simbol dan identitas produknya melalui berbagai even budaya di masyarakat.
Strategi komunikasi yang dilakukan industri rokok dalam situasi ini tidak lagi bertumpu pada produk, tetapi gaya hidup dan peran corporate (lembaga). Industri rokok memang bakal mengalami tantangan luar biasa, entah lima atau sepuluh tahun lagi. Tetapi, gerakan eksesif anti-rokok bisa menelikung dan mempercepat cultural genocide industri ini, kecuali kelak ditemukan bahwa rokok bisa bermanfaat bagi kesehatan.
Kudus, 15 Oktober 2006

Tidak ada komentar:

Posting Komentar


 

Komentator Artikel