Selamat Datang

dunia lebih kaya, lebih hidup, lebih bersegi banyak dari tampaknya, sebab setiap langkah daripada ilmu pengetahuan tertemukan di dalamnya segi-segi baru...

Senin, 26 Januari 2009

METAMORFOSA PLTN


Oleh Hasan Aoni Aziz US
Ketua Masyarakat Reksa Bumi (MAREM)


PENOLAKAN berbagai elemen masyarakat Jepara, Kudus, dan Pati terhadap bantuan alat laboratorium nuklir Batan untuk SMA Islam Jepara menghiasi halaman koran lokal di Jawa Tengah pertengahan Desember lalu. Isu ini kembali menghubungkan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN).
Bantuan alat laboratorium ini dinilai sebagai cara baru Batan (Badan Tenaga Nuklir Nasional) memromosikan PLTN fissi Muria.
Sepanjang 2008, Batan rajin melakukan program diseminasi (penyemaian) iptek nuklir. Diseminasi dilakukan dalam bentuk bantuan laboratorium dan benih tanaman hasil radiasi nuklir.
Adakah hubungan bantuan-bantuan itu dengan PLTN?

Nuklir dan PLTN
Nuklir telah lama berperan dalam dunia kesehatan, industri, geologi, juga pertanian. Sebagai badan nasional yang menangani nuklir, Batan melakukan berbagai riset iradiasi isotop dan menyokong dunia kesehatan dan farmasi Indonesia. Di bidang pertanian ditemukan benih padi Mira dan kedelai Muria, Meratus, Mitani, dan Rajabasa mutan hasil radiasi.

Namun, orang yang paham teknologi akan memahami bahwa risiko teknologi selalu tertanam dalam rancangannya. Dunia kedokteran menyarankan, penyinaran ronsen sebaiknya dilakukan enam bulan sekali. Lebih dari itu berisiko mematikan sel-sel tubuh lebih besar. Sedang, konsumsi biji hasil pemuliaan benih radiasi masih menjadi kontroversi dunia.

Penolakan masyarakat Muria agaknya tidak dalam kapasitas itu. Masyarakat menolak, karena dalam bantuan itu tertanam promosi pembangunan PLTN.
PLTN adalah pembangkit berbahan bakar uranium. Memiliki risiko radiasi mematikan saat terjadi kecelakaan, baik oleh kegagalan, kelalaian operasi maupun bencana alam. Kasus kebocoran PLTN Chernobyl Ukraina, bekas negara Uni Soviet (1986), Three Mile Island Amerika (1979), serta PLTN Kashiwazaki Jepang akibat gempa (2007) menjadi sindroma kuat yang tertanam di benak masyarakat Muria.

Dari head on ke hidden
Pilihan diseminasi nuklir melalui lembaga pendidikan dan pertanian adalah metamorfosa promosi PLTN Batan hasil belajar tahun 2007. Komunikasi langsung (head on) sepanjang 2007 telah menuai tentangan. Batan merubah model komunikasi itu melalui diseminasi nuklir.

Dalam ilmu komunikasi pendekatan ini disebut hidden communicate (menyampaikan secara terselubung). Ada dua sasaran model ini. Pertama, di ranah kognitif masyarakat akan memahami nuklir dan PLTN sebagai iptek yang positif. Untuk mendukung ini, Kementerian Riset dan Teknologi mengeluarkan buku suplemen untuk siswa SMP berjudul “PLTN, Manfaat dan Potensi Bahayanya”.

Dalam diskusi bersama Marem, Percik dan Listhia akhir Nopember lalu disimpulkan bahwa buku ini menyesatkan. Terdapat bias antara nuklir dan PLTN serta menyederhanakan aspek kebahayaan. Mengingatkan kita pada pelajaran sejarah di sekolah tentang G-30 S-PKI serta film-film tentangnya di era Orde Baru yang sangat distortif terhadap sejarah.
Sebuah kuesioner Batan atas pengetahuan 60 guru fisika, kimia dan biologi di Demak, serta poll tingkat pengetahuan PLTN mahasiswa Semarang tahun 2008 mendorong Batan melakukan diseminasi (www.infonuklir.com).

Mengapa siswa SMP dan mahasiswa menjadi sasaran? Tampaknya Batan sangat paham apa arti “cohort”. Cohort adalah segmen usia tertentu yang pada kurun selanjutnya berpotensi menjadi pembela apa yang diedukasi sekarang. Mereka bagai kepompong yang dinanti menjadi kupu-kupu. Dunia internet telah menuai pasar cohort netter mulai 2000-an setelah pada dekade 90-an dihujani beribu informasi tentang dunia maya.
Kedua, bantuan laboratorium bisa menerbitkan bond of merit (rasa utang budi). Makin banyak penerima bantuan, makin banyak pula dukungan. Pencapaian sasaran akan melampaui tidak saja pemahaman (kognitif), tetapi juga sikap setuju (afektif) dan keputusan menerima (psikomotorik) PLTN.


Belajar dari Jepang

Jepang adalah negara yang lebih dari 30 persen total kebutuhan listriknya dipasok PLTN. Sebagai negara yang sepi sumber energi dan sulit keluar dari kebutuhan PLTN karena industrialisasi yang pesat, pemerintah Jepang juga mendapat tentangan masyarakat lokal. Sebagai promosi, Jepang melakukan program diseminasi nuklir.
Batan belajar dari Jepang dan membuat kerjasama dalam Memorandum of Cooperation on the Promotion on Nuclear Power Plant Development, 22 Nopember 2007. Bahkan Jepang melalui Jetro mengucurkan bantuan Rp. 2,5 M berpatungan dengan Kaico dari Korsel untuk kepentingan sosialisasi. Cara-cara pendekatan diseminasi yang dilakukan Jepang kini ditiru Batan.

Pada ultah ke-50 Batan, Menteri Ristek Kusmayanto Kadiman berkata, dari keempat program FEW+H atau food, energy, water, and health, bidang energi paling sulit diwujudkan. Isu PLTN masih berkubang di ranah sosiopolitik. Maka, Batan perlu melakukan pembelajaran publik (Kompas, 5/12/08).
Tapi, gerakan masyarakat lokal di Jepang berbeda dengan masyarakat di sekitar Muria. Di Jepang masyakarat terhimpun ke dalam struktur sosial monolitik, yang penentangannya lebih mencirikan perjuangan kelas.

Sedang, masyarakat Muria berbaur bersama, terdiri atas petani, nelayan, pekerja, kaum agamawan, mahasiswa, juga pengusaha. “Sebuah gerakan civil society yang unik,” kata Richard Tanter, peneliti RMIT University Australia.
Batan suatu saat mungkin kembali memilih model head on, karena Pemerintah atas nama kepentingan publik dapat memaksa PLTN. Dalam persepektif ke-Amdal-an, penolakan masyarakat hanya diakomodir sebagai variabel pelengkap daripada pencegah. Pemerintah akan membangun alasan oleh apa yang di-fait a comply sebagai krisis sumber energi. Sesuatu yang ditentang kelompok anti-PLTN sebagai krisis managemen energi.
Dalam ancaman krisis itu, Indonesia kelak akan memasuki zaman gelap, yang akan terang jika memilih PLTN. Sesuatu yang oleh kelompok anti-PLTN dinilai absurd, karena Indonesia amat kaya sumber energi terbarukan, seperti panas bumi, surya, gelombang laut, angin dan biofuel.
Metamorfosa ke head on akan kembali dipilih hanya jika program diseminasi nukir berhasil menetaskan cohort-cohort PLTN.


2 komentar:

Anonim mengatakan...

minta ijin untuk di kopas di komunitas plat K
maturtengkiyu sebelumnya

Anonim mengatakan...

Ini versi lain dari 'sebelah' : http://public.kompasiana.com/2009/07/13/energi-nuklir-siapa-takut/

Posting Komentar


 

Komentator Artikel